Breaking News

Demokrasi Nir-Moral Oleh: Fajlurrahman Jurdi

*OPINI*

Kebebasan masih dipuja, tetapi moralitas kebebasan kian rumit ditemukan, seperti menemukan butiran rambut ditengah padang pasir. Setiap orang dengan segenap genggaman modal sosial, politik dan ekonomi yang dimiliki, bisa membeli kebebasan, bahkan bisa pula mengaturnya. Alih-alih menghendaki kebebasan, malah yang muncul adalah “tekanan”.

Steven Levitsky dan Daniel Ziblat (2019) menanyakan, “How Democracies Die”, bagaimana demokrasi mati?. Catatan mereka cukup mengagumkan, karena berhasil mengemukakan, bagaimana para pemimpin yang semula memuja demokrasi, lalu terjerembab dalam sikap-sikap anti demokrasi. Slogan dan kata-kata, menyeruak tak henti, meletakkan demokrasi sebagai perkakas yang penting. Tapi tindakan, justru otoritarian.

Dalam banyak kasus, demokrasi diukur secara kuantitatif. Secara sederhana, perhitungan demokrasi adalah perhitungan yang dibangun dengan postulat angka-angka. Dengan konsepsi angka-angka, potret tindakan dan perbuatan dapat diukur.

Demokrasi kuantitatif ini hanya sebagai bekal bagi pembentukan kekuasaan dan pengisian jabatan politik. Ia tidak berpengaruh apapun terhadap tindakan individu. Demokrasi kuantitatif juga tidak memberikan efek apapun terhadap perbuatan kelompok dan kekuasaan. Ia hanya memastikan, bahwa ada “hukum kepastian” dalam pengisian jabatan politik. Selebihnya, tidak ada dampak yang dibawa untuk perbaikan kekuasaan itu sendiri.

Tentu saja, untuk memastikan bahwa demokrasi memiliki kualitas servis publik yang baik, maka ada korelasi antara moral dan perhitungan kuantitatif. Bahwa kekuasaan yang diisi dengan model dan pendekatan demokrasi kuantitatif, dibarengi dengan “pembentukan” moralitas. Moral-lah yang secara kualitatif membentuk habitus demokrasi menjadi baik.

Dalam perjalanan bangsa kita belakangan ini, titik temu antara kekuasaan yang dibentuk dengan demokrasi kuantitatif dan infiltrasi moral di dalamnya, membutuhkan kemampuan memahami, bagaimana kekuasaan bersikap dengan nilai-nilai moral.

Kekuasaan bersikap dengan nilai-nilai moral yang diwujudkan dalam bentuk tindakan dan kebijakan. Dengan wujud tindakan dan kebijakan, maka demokrasi memiliki kualitas moral yang baik. Kekuasaan yang dibentuk dengan proses demokrasi, akan lebih bisa memiliki akuntabilitas apabila dibarengi dengan sikap moral yang baik pula.

Maka akuntabilitas tindakan dan kebijakan kekuasaan ditentukan oleh seberapa kuat intervensi moral di dalamnya. Semakin besar dan kuat intervensi moral, maka semakin baik dan tinggi kualitas pelayanan kekuasaan terhadap publik. Inilah yang menjadi penyebab, kenapa dalil moral itu penting dalam demokrasi.

Dalam demokrasi kita, belakangan kekuasaan tidak memperhatikan kualitas moral tindakan dan kebijakan publik mereka. Baik di lembaga eksekutif maupun di lembaga legislatif, kualitas moral tindakan dan kebijakan mengalami kemerosotan.

Hal ini disebabkan oleh injeksi pragmatism dan kebutuhan material kekuasaan yang lebih dominan, ketimbang akuntabilitas moral yang harus ditunaikan. Akibatnya, demokrasi yang seharusnya menjadi soko guru kekuasaan, dengan prinsip-prinsipnya yang kuat, menjadi tak demokratis. Bahkan cenderung disalahgunakan.

Penyalahgunaan term dan arti demokrasi dalam tataran tindakan, telah menyeret konsep ini ke titik nadir. Dipuja sekaligus dihujat. Digunakan sambil dicaci maki. Ditolak tetapi dirindukan. Demokrasi pada akhirnya menjadi nir-moral. Demokrasi menjadi “tertuduh”. Demokrasi menjadi alat bagi kekuasaan. Demokrasi hanya kuantitatif, tidak kualitatif.
Wallahu a’lam bishowab

* Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unhas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *