Breaking News

OPlNI:Kolonialisme Domestik (Catatan Terhadap KUHP)

Oleh: Fajlurrahman Jurdi

METAINFO.ID,-Dalam catatan sejarah, atau teori-teori pada umumnya, merumuskan kolonialisme sebagai salah satu kegiatan penjajahan yang dilakukan oleh satu bangsa atas bangsa lain. Argumen ini sama dengan definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia yang menyebutkan bahwa kolonialisme adalah “paham tentang penguasaan oleh suatu negara atas daerah atau bangsa lain dengan maksud untuk memperluas negara itu”.

Definisi ini mengenal batas teritorial.
Subyeknya ada pada batas-batas tanah dan wilayah tertentu. Definisi lain menyebutkan; kolonialisme adalah; “a practice of domination, which involves the subjugation of one people to another” (https://plato.stanford.edu/). Definisi jenis ini menunjuk pada subyek orang atau sekelompok orang, tidak disangkutpautkan dengan wilayah. Karena itu, dominasi yang dilakukan oleh beberapa orang terhadap orang lain, secara sederhana dapat disebut sebagai kolonialisme.

Dengan dasar argumen ini, maka kolonialisme adalah dominasi satu orang atau kelompok kepada orang atau kelompok lain. Dengan kalimat sederhana, dapat dirumuskan dengan; “kita dan mereka”. “Kita” memiliki self control (kontrol diri) terhadap “Mereka”. “Mereka” disebut juga dengan the other adalah berbeda dari “Kita”. Rumusan “Kita” dan “Mereka” menjadi sumber legitimasi pemberlakuan yang tidak sama dalam semua ruang dan waktu.

Di dalam kolonialisme, terdapat instrumen. Instrumen diperlukan untuk memperkuat dominasi dan pengendalian terhadap subyek yang disebut sebagai “Mereka”. Dengan instrumen tersebut, maka pola kontrol bekerja secara sistematis dan terstruktur, sehingga menghasilkan suatu masyarakat yang dikehendaki oleh rezim kolonial. Karena itu, di dalam kolonialisme, terdapat paling tidak instrumen dominasi yang meliputi; “ekonomi, hukum, dan kekerasan”.

Pertama, instrumen ekonomi menjadi salah satu fokus kajian kolonialisme. Melalui ekploitasi terhadap sumber kekayaan alam, rezim kolonial menghimpun daya dan kekuatan. Kebutuhan akan pertahanan kekayaan, perlindungan harta minoritas orang-orang kaya, serta pengendalian terhadap sumber daya material diperlukan guna menjaga stabilitas pertumbuhan kekayaan. Semakin luas cakupan bisnis dan pengembangan ekonomi kelompok kecil di dalam suatu masyarakat, maka makin tinggi kebutuhan perlindungan kekayaan.

Dengan tingginya kebutuhan itu, pengendalian terhadap harga dan rumusan kebijakan ekonomi pasar dengan kontrol penuh pada sekelompok orang terhadap perputaran barang dan jasa, maka dengan sendirinya, seluruh instrumen pendukung dibutuhkan.

Kedua. Kebutuhan akan instrumen pendukung itu adalah merupakan yang paling penting, agar tindakan yang dilakukan oleh rezim kolonial memiliki legitimasi. Instrumen pendukung yang dimaksud adalah hukum. Hal ini terlihat misalnya, pada saat Belanda menjajah Indonesia, mereka membawa serta kita-kitab hukumnya. Kitab hukum itu sebagai alat untuk melindungi diri dan mengontrol “Mereka”. “Kita” adalah sang kolonial, sedangkan “Mereka” adalah seluruh subyek dan sumber daya yang ada di dalam kendali dan preferensi sang kolonialis itu.

Belanda membawa serta minimal dua code (hukum) untuk mengendalikan tanah jajahannya, yakni: “code civil dank code penal”. Isi hukum kolonial itu minimal mengatur dua hal, yakni mengukuhkan posisi subyek dan superioritas si penjajah dan meminggirkan subyek si terjajah. Bila perlu, si terjajah adalah obyek yang dapat di definisikan, gampang diatur dan patuh pada apa yang di kehendaki oleh sang kolonialis.

Sebagai subyek yang memiliki superioritas, si penjajah dilekatkan padanya jabatan-jabatan (ambten). Jabatan itu tidak dapat diganggu dan tidak bisa digugat. Maka hukum dibuat sedemikian rupa untuk memberi perlindungan terhadap jabatan si penjajah. Dengan demikian, tindakan dan perbuatan si penjajah berdalih atas nama hukum dan undang-undang. Si penjajah akan dengan leluasa mengekploitasi dan merampas sumber daya ekonomi rakyat, mengambil alih tanah atas nama kepentingan rakyat, meskipun itu semata-mata guna penumpukan kekayaan dan kepentingan ekonomi kolonialis.

Di dalam rezim kolonial, jabatan atau kekuasaan menjadi begitu sakral. Sakralitas kekuasaan ini penting untuk terus dijaga dan dirawat, hingga berubah menjadi mitos. Hal ini mungkin bisa dipersonifikasikan juga dengan model kekuasaan monarki, dimana ada pasal-pasal leye mayesty atau pasal yang secara khusus melindungi keluarga kerajaan. Hal ini untuk memastikan bahwa, “raja dan keluarganya tidak dapat dipersalahkan”. The king can do no wrong”.

Kolonialisme menghendaki “mitos” The king can do no wrong ini dapat terus hidup, baik dalam Negara monarki maupun republik. Dengan demikian, kekuasaan harus selalu benar dan tidak dapat dipersalahkan. Padahal, ada prinsip-prinsip yang cukup penting yang dianut dan sangat berbeda antara monarki dan republik. Tetapi kolonialisme tidak memandang sama sekali perbedaan prinsip antara monarki dan republik. Bagi kolonilisme, pelanggengan terhadap penjajahan dan dominasi harus tetap terus bertahan, tanpa perlu memandang pada rezim pemerintahan manapun ia berkuasa.

Akibatnya, hukum diproduksi demi dan atas nama pelanggengan itu. Meskipun berada di republik, kaum kolonialis membuat definisi serupa tentang jabatan dengan apa yang ada di dalam monarki. Jika dalam monarki, kekuasaan tidak dapat dikritik dan diganggu, maka mereka juga merumuskan hal serupa meskipun dengan “suara” yang berbeda. Makna nya sama, yakni pelanggengan kekuasaan.

Untuk menegakkan hukum kolonialis, maka harus ada instrumen selanjutnya, yakni instrumen yang ketiga, yakni kekerasan. Kolonialisme dalam sejarahnya, melanggengkan satu hal yang pasti, yakni kekerasan. Untuk menjaga agar stabilitas harta dan penumpukan kekayaan berjalan mulus, eksploitasi dan perampasan sumber daya alam tanpa hambatan, mereka membuat hukum untuk melindungi seluruh perangainya dan melakukan kekerasan untuk menjaganya.

Atas nama penegakkan hukum, suara-suara yang berbeda dari “Mereka” yang dijajah harus “dilakban” dan dibungkam. Pembungkaman menjadi niscaya, bila suara-suara itu mengganggu produksi dan penumpukan kekayaan mereka.

Hukum adalah sarana paling canggh dan paling otoritatif untuk menekan dan menghentikan segala jenis suara yang tak dikehendaki oleh kelompok yang berkuasa. Kaum kolonialis ini bersuka cita dengan ragam “pesta kekerasan yang mereka ciptakan”, atas segala stigma yang mereka timpakan, serta atas tuduhan tanpa bukti yang mereka rumuskan diatas lapisan kebohongan yang tanpa ujung. Kaum kolonialis tanpa perikemanusiaan bisa menembaki tanpa ragu, atau membunuh tanpa rasa bersalah, dan yang paling ringan, memeriksa sambil mengancam tanpa bukti terhadap mereka yang dianggap mengganggu jalannya kekuasaan dan penumpukan kekayaan material mereka.

Titik temu yang kompleks antara kepentingan ekonomi, menunggangi hukum dan fragmen kekerasan yang mereka lakukan, maka yang lebih besar dan lebih menakutkan lagi adalah, mereka berdalih demi dan atas nama keamanan, peradaban dan ketentraman masyarakat, maka segala jenis tindakan kekerasan itu diperlukan.

KUHP, Perlindungan Jabatan dan Instrumen Kekerasan Negara Kolonial.

Banyak publik menilai, bahwa masyarakat sipil yang menolak pengesahan RUU KUHP menjadi UU belum bisa memahami, bahwa KUHP yang digunakan sebelumnya adalah warisan kolonial Belanda. Padahal penolakan itu bukan tidak menerima kehadiran KUHP hasil karya anak bangsa sendiri, tetapi lebih kepada sikap dan cara berpikir, bahwa DPR dan Presiden tidak salah merumuskan frase, yang membuat kita tidak terjerembab lebih jauh, lebih dalam dan lebih intim dengan kekerasan dan watak kolonialisme.

Setelah membaca KUHP pasca disetuji DPR, jelas sekali, bahwa watak kolonialisme itu tampak nyata, dan celakanya, ini kolonialisme yang dilegalkan oleh Negara pasca kolonial. Penulis memandang penting watak kolonial itu, saat membaca beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, Pasal 240 ayat (1) menyebutkan: “Setiap Orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”. Pertanyaan penting, apa yang dimaksud dengan “menghina pemerintah atau lembaga Negara?”. Jika kata “menghina” terpisah dari kata setelahnya, kita bisa terima sebagai sebuah pengaturan. Tetapi potongan kalimat “pemerintah atau lembaga Negara”, membuat kalimat itu menjadi berbahaya dalam demokrasi. Bila publik, karena kesal terhadap produk hukum yang dihasilkan oleh DPR, lalu dia mengatakan; “DPR Brengsek karena menyetujui RKUHP”. Kata “brengsek” itu apakah dimaknai sebagai menghina atau sebagai kritik?. Sampai dimana batas penghinaan dan kritik itu dalam demokrasi?.

Lalu, “DPR” itu orang atau jabatan?. Kalau orang merasa terhina, itu dapat diterima. Tetapi kalau “jabatan” merasa “terhina”, sejak kapan jabatan memiliki “perasaan terhina?”. Bagaimana semua orang bisa memahami posisi Negara demokrasi di dalam membaca pasal-pasal ini. Bagaimana orang bisa menyatukan persepsi tentang mana kritik dan mana hinaan?.

Kedua, Lebih berbahaya lagi dengan frase pasal 241 ayat (1), karena itu bisa menghambat kampanye masyarakat sipil untuk melakukan “perlawanan” terhadap kebijakan pemerintah atau lembaga Negara yang merugikan rakyat. Jika ada ajakan aksi besar dan pemasangan spanduk, baleho dan membuat petisi. Di dalam kalimat kampanye perlawanan tersebut, ada yang “menyinggung perasaan” pemerintah atau lembaga Negara, dan perasaan tersinggung itu berimbas pada laporan atas penghinaan, maka akan berhenti kritik dan pelawanan itu. Bagaimana bisa merawat demokrasi, jika orang tidak bisa “bertengkar” dengan kata-kata dan ucapan terhadap kebijakan?. Bukankah di dalam demokrasi itu yang paling penting adalah voice (suara)?. Maka ada kalimat tua yang tak pernah usang berbunyi; “vox populi vox dei”. Suara rakyat adalah suara Tuhan.

Publik juga harus tau, bahwa kalimat di Pasal 240 ayat (1) dapat dimaknai secara luas. Kata “pemerintah” dapat dimaknai sebagai presiden, – meskipun ada ketentuan tentang larangan menyerang kehormatan presiden — karena presiden adalah pemimpin pemerintahan tertinggi dalam sistem presidensial. Maka kata “menghina pemerintah atau lembaga Negara” adalah pasal sapu jagat, yang akan melindungi “klan-klan” kekuasaan. Pasal ini menjangkau seluas mungkin setiap orang yang dianggap “menghina” pemerintah atau lembaga Negara.

Ketiga, pembentuk UU menghapus pengaturan tindak pidana penghinaan terhadap presiden karena pernah dibatalkan oleh MK. Meskipun demikian, mereka mengaturnya lebih keras, dengan kalimat yang lebih subversif. Pasal 218 KUHP menyebutkan; “Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”. Kata yang digunakan bukan “menghina”, tetapi “menyerang”. Di KBBI, kata menyerang memiliki tiga arti: 1. mendatangi untuk melawan (melukai, memerangi, dan sebagainya); menyerbu; 2. melanda; melanggar; menimpa (tentang bencana, penyakit, dan sebagainya); 3. menentang (seperti melancarkan kritik).

Dari sisi pilihan kata, sudah keliru konstruksi berpikirnya. Dan pada saat dicari artinya, merujuk pada dalil-dalil anti demokratis. Jika merujuk pada arti pertama di KBBI, maka itu menyangkut Makar, dan jika merujuk pada arti ketiga dari KBBI, maka yang disebut sebagai “menyerang” adalah melakukan kritik. Apakah kritik dan menentang presiden diharamkan dalam demokrasi?.

Lalu, siapa itu Presiden?. Presiden adalah jabatan. Bukan orang. Di dalam republik, jabatan itu adalah perkakas publik. Bukan milik privat sebagaimana dalam monarki. Meskipun “penyerangan terhadap kehormatan” presiden ini sifatnya delik aduan, penggunaan kalimatnya sangat subversif, karena menggunakan kata “menyerang”. Yang diserang adalah kehormatan. Lalu, apa itu kehormatan?. Sampai dimana batasnya?. Jika melihat penjelasannya Pasal 218 ayat (1), tambah membingungkan: karena, “Yang dimaksud dengan “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri” adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri, termasuk menista atau memfitnah”.

Kenapa di batang tubuh merujuk ke jabatan, tetapi kalimat di penjelasan merujuk pada pribadi?. Di dalam demokrasi, harus dipisahkan antara diri pribadi dengan jabatan. Karena jabatan itu tetap, sedangkan orang berganti-ganti.

Tulisan ini tidak menyoroti pasal lain, karena jantung dari kolonialisme adalah bagaimana menjaga stabilitas harta dengan instrumen hukum dan kekerasan serta melindungi kekuasaan dari perlawanan masyarakat ditempat mereka menjajah.

Publik memahami betul, bagaimana Presiden dan DPR mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi. Agar itu semua bisa berjalan mulus, maka harus ada “mulut” yang disumpal bila mengganggu kepentingan ekonomi dan investasi. Pengesahan berbagai UU pasca Pemilu 2019 telah memantik perlawanan dan kritik tajam dari publik, demonstrasi, aksi dan teatrikal. Pada saat yang sama, Negara juga melakukan kekerasan dan menghentikan dengan beragam cara.
Kehadiran KUHP baru ini, memperkuat basis legitimasi kekerasan terhadap masyarakat sipil. Pasal ini sama dengan pasal “perlindungan keluarga kerajaan” dalam monarki. Pasal ini adalah ketentuan yang dapat digunakan untuk “menerkam” setiap orang yang disebut dengan “Mereka”. Kekuasaan akan menggunakan Pasal ini sebagai dalil kuat untuk “memblender” masyarakat sipil.

Dengan dalil penghinaan, “Mereka” yang melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah atau lembaga Negara, akan dicap sebagai para penghina. Para penghina layak untuk dibungkam dan dipenjarakan.

Karena itu, KUHP ini adalah instrumen penjajahan yang dilakukan oleh para penguasa terhadap anak bangsa sendiri. Dulu penjajah datang karena alasan ekonomi. Lalu mereka membawa hukum untuk menertibkan pribumi yang melakukan perlawanan. Untuk menghentikan itu, mereka gunakan kekerasan. Atas nama penegakkan hukum, kekerasan dan pembunuhan dilegalkan. Tidakkah pola kolonialisme dulu sama dengan pola kekuasaan di Negara demokrasi sekarang?.

Itulah sebabnya, penulis menyebut, ini adalah kolonialisme domestik. Kolonialisme dalam negeri, yang haus harta dan kekuasaan. Mereka tega menyiapkan instrumen hukum untuk mengontrol secara ketat masyarakat sipil. Semoga klausul ini, tidak menjadi karma buat anak-anak mereka di masa depan.
Wallahu alam bishowab.

*) Penulis adalah Dosen dan Ketua Pusat Kajian Kejaksaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *