Breaking News

OPINI:Perihal Justice Collaborator

Oleh: Pradikta Andi Alvat

METAINFO.ID,-Dalam realitasnya, perkembangan zaman berimplikasi terhadap berkembangnya modus-modus operandi kejahatan yang memiliki kompleksitas dan kesulitan tersendiri dalam pengungkapannya. Modus-modus operandi tersebut mawujud dalam bentuk kejahatan sistematik dan terorganisir.

Sistematik dan terorganisir artinya bahwa kejahatan dilakukan dengan basis pondasi yang sistemik dan dijalankan dengan bingkai organisasi yang rapi dan terstruktur. Contohnya jaringan mafia dan kartel narkoba yang hingga saat ini masih eksis di Italia Selatan, Kolombia, Brazil, hingga Meksiko.

Di kalangan jaringan mafia Italia sendiri (ex: Camora/Ndrangheta), terdapat sebuah “aturan internal” yang dinamakan omerta, yang artinya adalah tutup mulut. Omerta merupakan kewajiban bagi anggota mafia yang tertangkap oleh pihak aparat penegak hukum untuk tidak memberikan informasi dan keterangan apapun, agar kejahatan dan jaringan mafia yang bersangkutan tidak mampu diungkap oleh aparat penegak hukum sehingga jaringan mafia tersebut akan terus memiliki daya eksistensi.

Konsekuensi bagi anggota yang tidak melakukan omerta, maka jaringan mafia tidak akan segan-segan untuk menghabisi nyawa yang bersangkutan termasuk anggota keluarganya. Dalam praktiknya, anggota mafia yang tertangkap aparat keamanan (polisi) akan lebih memilih melakukan omerta (tutup mulut) dari pada memberikan keterangan kepada pihak kepolisian, hal itu dilakukannya demi keamanan pribadi dan keluarganya.

Para anggota mafia yang memilih tutup mulut ketika dilakukan pemeriksaan tentunya berimbas pada kesulitan pihak kepolisian untuk mengungkap kasus kejahatan yang bersangkutan secara komprehensif. Oleh sebab itu, diperlukan perlindungan hukum berupa jaminan keamanan hingga previlege penuntutan/hukuman kepada para pelaku kejahatan (bukan pelaku utama) yang bersifat terorganisir dan sistematik, agar ia memiliki keberanian untuk memberikan keterangan/informasi signifikan dan turut berkontribusi konstruktif untuk mengungkap kejahatan kelompok/organisasinya.

Dalam dinamika hukum kontemporer, jaminan perlindungan hukum kepada pelaku yang berkontribusi dalam pengungkapan kejahatan yang bersifat organisir secara normatif tertuang dalam Pasal 26 Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang terorganisasi tahun 2000 dan Pasal 37 Konvensi PBB Anti Korupsi tahun 2003 mengamanatkan kepada para negara anggota untuk memberikan previlege hukum berupa keringanan sanksi dan impunitas penuntutan bagi seorang pelaku yang memberikan kerja sama substansial dalam pengungkapan kasus kejahatan yang terorganisir.

Pelaku yang bekerjasama atau memberikan keterangan signifikan untuk mengungkap suatu kasus kejahatan terorganisir disebut sebagai saksi pelaku atau justice collaborator. Pengaturan mengenai justice collaborator dalam hukum positif di Indonesia sendiri diatur dalam penjelasan UU Nomor 13 tahun 2006 jo UU Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta SEMA Nomor 4 tahun 2011.

Menurut UU Nomor 13 tahun 2006 jo UU Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dijelaskan bahwa saksi pelaku merupakan tersangka, terdakwa, maupun terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap kasus yang sama. Menurut penjelasan UU Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dijelaskan bahwa yang termasuk tindak pidana tertentu sebagai basis pemberian justice collaborator adalah tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika dan psikotropika, tindak pidana seksual terhadap anak, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi/korban dihadapkan pada situasi yang membahayakan jiwanya.

Menurut Pasal 28 ayat (2) UU 31 Nomor 31 tahun 2014, perlindungan LPSK terhadap saksi pelaku diberikan dengan syarat: melakukan tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (2), sifat pentingnya keterangan yang diberikan oleh saksi pelaku dalam mengungkap suatu tindak pidana, bukan sebagai pelaku utama, kesediaan mengembalikan aset yang diperoleh dari tindak pidana, adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan terjadinya ancaman. Bentuk-bentuk perlindungan terhadap saksi pelaku diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU 31 Nomor 31 tahun 2014 (ex: mendapatkan identitas baru, mendapatkan kediaman sementara, dirahasiakannya identitasnya, mendapat pendampingan dll).

Kemudian, berdasarkan Pasal 10A UU 31 Nomor 31 tahun 2014, terhadap saksi pelaku diberikan dua previlege hukum. Pertama, penanganan secara khusus. Meliputi: pemisahan tempat penahanan atau menjalani pidana, pemisahan berkas perkara dengan tersangka lainnya dalam perkara yang sama, memberikan kesaksian di persidangan tanpa berhadapan dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.

Kedua, penghargaan atas kesaksian. Meliputi: keringanan penjatuhan pidana, pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lainnya. Untuk memperoleh penghargaan tersebut, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim. Sedangkan untuk memperoleh pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada Kemenkumham.

Selanjutnya, menurut Pasal 9 SEMA Nomor 4 tahun 2011, saksi pelaku yang bekerjsama (justice collaborator) harus memenuhi syarat: merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud SEMA ini (korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir yang menimbulkan ancaman serius terhadap stabilitas keamanan masyarakat sehingga meruntuhkan lembaga dan nilai demokrasi, etika, dan keadilan), mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama, memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan.

Berikutnya oleh penuntut umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan yang signifikan sehingga penyidik/penuntut umum dapat mengungkap kasus pidana yang dimaksud. Atas kesaksiannya yang signifikan di atas, hakim dalam menentukan pidana yang dijatuhkan terhadap justice collaborator dapat mempertimbangkan hal sebagai berikut: menjatuhkan pidana bersyarat khusus dan menjatuhkan pidana yang paling ringan diantara terdakwa lainnya.

Konklusinya, berdasarkan penelaahan terhadap UU Perlindungan Saksi dan Korban serta SEMA Nomor 4 tahun 2011, justice collaborator merupakan pelaku yang menjadi saksi dalam kasus penyertaan tindak pidana tertentu, dimana ia bukan pelaku utama dan memberikan keterangan yang signifikan dalam pengungkapan kasus yang melibatkan dirinya tersebut. Atas perannya tersebut, justice collaborator dapat mendapatkan previlege hukum baik di tahap penuntutan maupun di tahap peradilan.

Yang perlu dipahami, bahwa penentuan status justice collaborator menjadi domain penuntut umum yang tertuang dalam tuntutannya setelah mendapat rekomendasi dari LPSK, kemudian perihal vonis yang akan dijatuhkan oleh hakim terhadap justice collaborator sepenuhnya merupakan domain kemerdakaan hakim. SEMA Nomor 4 tahun 2011 tidak bersifat imperatif tetapi memberikan pilihan. Pasal 9C SEMA Nomor 4 tahun 2011 mengatakan bahwa hakim dalam menentukan pidana yang dijatuhkan terhadap justice collaborator dapat mempertimbangkan hal sebagai berikut: menjatuhkan pidana bersyarat khusus dan menjatuhkan pidana yang paling ringan diantara terdakwa lainnya. Kata dapat menunjukkan sebuah pilihan bukan keharusan imperatif.

*) Penulis adalah CPNS Analis Perkara Peradilan (Proyeksi Calon Hakim) Pengadilan Negeri Rembang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *