Breaking News
Berita  

OPINI:Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman

Oleh: Pradikta Andi Alvat
CPNS Analis Perkara Peradilan (Proyeksi Calon Hakim) Pengadilan Negeri Rembang.

METAINFO.ID,-Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI tahun 1945, Indonesia menyatakan diri sebagai sebuah negara hukum. Negara hukum adalah negara yang meletakkan supremasi hukum dalam segala lingkup kehidupan bernegara. Menurut Prof. Kaelan (2016) negara hukum memiliki 3 unsur pokok yang harus dipenuhi untuk melegitimasi diri sebagai negara hukum.

Pertama, adanya pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan di bidang sosial, politik, hukum, budaya, dan demokrasi. Kedua, adanya jaminan kepastian hukum yakni bahwa ketentuan hukum bisa dipahami dan dilaksanakan secara due procces of law. Ketiga, adanya peradilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan dan bersifat imparsial.

Secara konseptual, esensi dari pada negara hukum adalah untuk menghindari dan meminimalisasi terjadinya absolutisme kekuasaan yang dapat merampak hak asasi manusia. Sekaligus menjadi lokomotif negara untuk membangun kesejahteraan dan ketertiban sosial. Dalam konteks ini, salah satu elemen penting dalam orkestrasi negara hukum secara praksis sebagaimana penulis singgung di atas adalah terwujudnya kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan, menjamin kepastian hukum, dan melindungi hak asasi manusia.

Secara yuridis-konstitusional, kekuasaan kehakiman sendiri didefinisikan sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Merdeka disini memiliki arti bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari intervensi dan pengaruh dari kekuasaan lainnya atau sering disebut sebagai independensi kekuasaan kehakiman.

Independensi kekuasaan kehakiman sendiri dapat didistingsi menjadi dua aspek yakni independensi institusional dan independensi personal. Independensi institusional adalah terkait tata kelembagaan dan administrasi-organisatoris lembaga kekuasaan kehakiman yang harus independen dan tidak dibawah kekuasaan lainnya (eksekutif, legislatif dll).

Independensi personal adalah terkait jaminan kepada hakim dalam keamanan, kesejahteraan, masa jabatan, kebal terhadap tuntutan hukum, dan lainnya. Pemenuhan independensi institusional dan independensi personal bertujuan untuk menghindari intervensi baik secara politik, ekonomi, dan ancaman fisik dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang dapat mengakibatkan terjadi nir-imparsialitas dalam proses peradilan.

Di sisi lain, independensi kekekuasaan kehakiman bukan berarti kebebasan mutlak tanpa batas, melainkan kebebasan yang dipandu oleh moralitas, tata hukum, nurani, dan profesionalitas baik secara personal dan institusional. Akuntabilitas personal menuntuk kematangan integritas dan moralitas hakim baik di dalam dan di luar peradilan.

Akuntabilitas institusional menuntut adanya sistem manajemen peradilan yang kondusif untuk membangun sistem kerja peradilan yang imparsial dan menjunjung tinggi integritas.

Artinya, kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang muaranya adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya negara hukum Indonesia yang berdasarkan pada konstitusi dan Pancasila hanya bisa terwujud jika terpenuhinya dua aspek yang digambarkan oleh J.S. Verma (mantan Ketua MA India) sebagai dua sisi mata uang yakni independensi dan akuntabilitas kekuasaan kehakiman.

Secara praktis-teoritis terwujudnya independensi dan akuntabilitas kekuasaan kehakiman memiliki problematika-problematika yang kompleks. Menurut Paulus E Lotulung (2003) Probematika terhadap independensi kekuasaan kehakiman terdiri atas 5 hal. Pertama, intervensi oleh lembaga kekuasaan legislatif dan eksekutif. Kedua, intervensi dari pihak internal dalam kelembagaan kekuasaan kehakiman itu sendiri. Ketiga, intervensi dari pihak yang berperkara baik secara materil maupun fisik. Keempat, tekanan dari masyarakat. Kelima, tekanan yang bersifat trial by the press (tekanan pers). Menurut penulis, intervensi kekuasaan lain, lemahnya jaminan keamanan hakim dan belum proporsionalnya kesejahteraan hakim masih menjadi problem laten yang dapat mengancam independensi hakim.

Di sisi lain. Probematika terhadap akuntabilitas kekuasaan kehakiman lebih terletak pada sistem pengawasan, kultur kerja, sumberdaya kepemimpinan, keterbukaan, dan kemauan institusional untuk membuat inovasi-inovasi untuk meningkatkan kinerja dan akuntabilitas publik. Di era digitalisasi, dua pelaku kekuasaan kehakiman yakni MA dan MK sendiri mampu bertransformasi untuk meningkatkan akuntabilitas dengan berbagai inovasi-inovasi progresif (direktori putusan, SIPP dll). Meskipun demikian, akuntabilitas tersebut harus terus dibangun dan dikembangkan secara kontinu demi tegaknya marwah kekuasaan kehakiman.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *